Memaknai refleksi kelahiran RA Kartini yang diperingati setiap
tanggal 21 April sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat getol
memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia, sepintas lalu merupakan
dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang dengan tinta emas
dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria bahkan
waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia
dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori RA Kartini.
Kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apapun segala
bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan dan
penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum perempuan. Bahkan kita
harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro justicia kepada siapa pun
yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan
sebagaimana konon dialami Kartini dimasa perjuangannya. Terlebih disaat kita di
kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan
perundang-undangan yang telah menjamin pemenuhan HAM dalam segala aspek
kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Sebaliknya kita pun tentu setuju jika eksistensi HAM ditempatkan
dalam khasanah Indonesia di kekinian sebagaimana pula perlunya image Kartini
sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita Indonesia untuk diposisikan secara
proporsional, objektif dan multi dimensional. Ini penting karena opini public
yang terbangun dalam memahami aspek perjuangan kemajuan kaum wanita di
Indonesia, tampaknya cenderung didominasi kalau bukan identik dengan sosok
perjuangan Kartini.
Betapa tidak karena hampir semua referensi tentang gerakan
emansipasi wanita di nusantara, tidak pernah luput pengkajiannya dengan sosok
Kartini. Tragisnya karena paradigma gerakan emansipasi wanita di Indonesia
terbangun dalam proses dialektika dan rivalitas yang menempatkan pria dan
wanita sebagai kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Tak ayal lagi gendereng
perlawanan kaum wanita atas dominasi pria pun ditabuh dengan konstalasi issue
patriarkhi dan konstruksi sosial yang bias gender.
Dengan tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan terhadap sosok
Kartini maupun setiap perjuangan menentang ketidakadilan dan diskriminasi,
namun tiga hal yang menggugat dibalik kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan
emansipasi wanita di Indonesia. Tiga hal dimaksud meliputi :
- Seberapa jauh kebenaran deskripsi tentang R.A Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di Indonesia. Apakah profile Kartini dalam sejarah perjuangan Indonesia, benar-benar merupakan deskripsi keberadaan Indonesia, menurut kronologis fakta sejarah.?
- Seberapa tinggi tingkat urgensi kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia?
- Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Kartini lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904. Dalam berbagai manuskrip tentang Kartini antara lain dikisahkan tentang idenya untuk membebaskan kaumnya dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat melecehkan serta merendahkan martabat perempuan pada masanya. Sejak itulah konon merebak pemahaman yang memicu gerakan emansipasi wanita di Nusantara, yang kemudian menjelma menjadi Negara Republik Indonesia seperti sekarang ini.
Jika emansipasi dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan
kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan, maka sesungguhnya hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh
sebelum era Kartini. Kita tentu masih ingat kalau Majapahit sebagai kerajaan
yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa
dibagian utara dan Madagaskar di barat, ternyata dalam silsilah kerajaan
Majapahit pernah diperintah 2 dua perempuan masing-masing “Tribhuwanatunggadewi
(1328-1350) M”. dan Kusuma Wardhani (1389-1429) M.
Catatan sejarah yang lebih tua dari Majapahit dikenal pula sosok
perempuan sebagai panutan yang sangat dihormati yaitu Fatimah Binti Maimun.
Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang terletak di Leran (dekat
Gresik) dalam prasasti tersebut selain nama, juga keterangan wafat yaitu tahun
1028 M
Bukan hanya itu dalam catatan sejarah yang lebih tua lagi dari semua
yang dikemukakan di atas, dikenal juga wanita kesohor dari kerajaan Kalingga
(Holing/Keling), masa keemasan kerajaan ini justru berpuncak ketika “Ratu Sima”
berkuasa yang diperkirakan berlangsung pada abad VII M. Dalam masa itu menurut
sejarah, rakyat sungguh-sungguh sangat merasakan nuansa kemakmuran dan
keadilan. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah seberapa jauh bentuk-bentuk
kebebasan dalam emansipasi agar tidak menyimpang jauh dari koridor-koridor yang
seharusnya tidak menjadi hak seorang wanita juga mau diperjuangkan dengan
mengatasnamakan emansipasi.
Adapaun kebebasan dalam emansipasi yaitu kebebasan dari perbudakan,
persamaaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, misal : persamaan
hak, seperti kaum wanita dengan kaum pria. Di zaman modern seperti sekarang ini
banyak kaum wanita menganggap bahwa emansipasi menunjukkan tidak ada lagi
diferensiasi antara kaum wanita dengan kaum pria dalam berbagai bidang
kehidupan masyarakat.
Masalah inilah yang timbul dan saat ini menjadi kendala besar untuk meningkatkan martabat kaum wanita, padahal menurut ilmu histories, pelopor emansipasi kaum wanita R.A Kartini menguraikan bahwa emansipasi bertujuan untuk membebaskan kaum wanita dari perbudakan dan keterbelakangan, misal pada waktu dijajah pada pada waktu dijajah oleh bangsa Belanda kaum wanita tidak diperbolehkan untuk sekolah seperti kaum pria, kaum wanita pada waktu itu hanya dijadikan budak penjajah dan mengurusi semua keperluan dapur. Maka dari itu emansipasi dijadikan sebagai tonggak baru untuk mengangkat dan memajukan derajat kaum wanita dan untuk bias mewujudkannya beliau mendirikan sebuah sekolah yang khusus untuk kaum wanita.
Tetapi dengan adanya prestasi-prestasi itulah kaum wanita
sekarang merasa bisa menandingi kemampuan dan berbagai kegiatan yang dimiliki
kaum pria, misalkan saja dalam hal pacaran seorang wanita tidak malu untuk
menyatakan perasaannya kepada kaum pria dan juga dalam hal kegiatan olahraga,
seni, dan lain sebagainya. Jika terdapat sebuah kejadian, biasanya akan mengatakan
bahwa ini adalah zamannya emansipasi, jadi harus menyamakan dengan kaum pria.
Tetapi itu merupakan sebuah kesalahan, kita pasti sudah tahu bahwa kodrat kaum
wanita pasti dibawahnya kaum pria dan bila kaum wanita di atas kaum pria itu
tidak akan terjadi bahkan itu bisa menjatuhkan kehormatan dan martabat kaum
wanita itu sendiri di mata masyarakat.